Guru Cantik Yang Haus Sex
Cerita sex guru cantik yang haus sex. Pernah kebayang enggak sih, seorang guru yang sehari-hari ngajarin norma dan etika, tiba-tiba malah terjun ke dunia gelap yang jelas-jelas bertolak belakang sama semua yang dia ajarin? Apa karena desakan ekonomi, atau justru kebutuhan lain yang memicu semua ini? Yuk, kita ikutin cerita Mely.
Mely, 34 tahun, adalah seorang guru di sekolah swasta ternama di Jakarta. Dia sudah nikah sama Sadewo, yang kerjanya teknisi di pengeboran minyak lepas pantai. Mely ini pulangnya cuma 5-6 bulan sekali, bikin Mely sering kesepian.
Titik baliknya dimulai saat Mely nemuin bukti kalau suami utama serong. Dari cerita teman Sadewo yang punya balas dendam pribadi, Mely tahu kalau selama di lepas pantai, Sadewo suka “jajan” cewek-cewek nakal.
Teman suaminya ini bahkan nunjukkin beberapa foto mesra Sadewo sama cewek-cewek itu. Hati Mely hancur berkeping-keping. Dendam menguasai dirinya, dan dia bertekad membuat balas dendam dengan cara yang enggak pernah dia bayangin sebelumnya: jadi “High Class Call Girl”.
Awalnya, Kelly memasang iklan di koran. Bunyinya begini: “Pijat Martha, cantik dan berpengalaman menerima panggilan.Hub.0812160700X”. Dengan nama samaran “Martha”, petualangan terlarang ibu guru kita ini pun dimulai.
Ponsel Mely mulai banjir SMS, isinya macem-macem. Ada panggilan kerja, tapi enggak sedikit juga yang berisi kalimat-kalimat porno. Mely enggak sarat semua itu, menurutnya cuma buang-buang waktu. Negosiasi sama calon klien juga sering mentok, karena Mely pasang tarif yang lumayan tinggi: Rp 1,5 juta sekali kencan. Jelas, tidak banyak yang berani memesan dia.
Sampai suatu hari, telepon masuk pas dia lagi ngajar di kelas.
“Izin anak-anak, Ibu mau terima telepon dulu. Jangan ramai ya!” kata Mely sambil buru-buru keluar kelas.
Halo, Marta? terdengar suara berat seorang pria.
“Ya, dengan siapa, Pak?” jawab Mely.
“Berapa tarifmu semalam?”
“Rp 1,5 juta, bayar di muka, enggak kurang dari itu.”
“Oke, selesai deal. Kita ketemu di Kafe Bubble, jam 18.30 nanti malam. Sampai sana langsung miss call aku, ya. Bye… tut tut tut.”
Jantung Mely deg-degan enggak karuan. Ini pertama kalinya dia mendapat panggilan serius, dan yang lebih aneh lagi, cowok itu enggak nawar harga sama sekali. Mely termenung, mikirin telepon tadi, sampai salah satu muridnya menegur.
“Ta, Ibu sakit ya?” tanya muridnya polos.
“Oh, enggak apa-apa kok. Ayo masuk lagi,” jawab Mely sambil megang pundak muridnya.
Pulang sekolah, Mely langsung siap-siap. Dia mandi, dandan secantik mungkin tapi enggak menor, terus pakai gaun malam hitam yang anggun. Dengan taksi, dia berangkat ke Kafe Bubble.
Sampai di kafe, deg-degannya makin menjadi. Dengan tangan sedikit gemetar, dia miss call nomor yang tadi siang nelpon. Enggak lama, terdengar suara ponsel di pojokan ruangan, sengaja ditaruh di atas meja sama pemiliknya.
Mata Mely muncul pada seorang pria Tionghoa berusia 42 tahun, berpakaian rapi, dan berkacamata minus. Pria itu membayangkan tangan, seolah-olah sudah mengenal Mely.
“Hai, Martha, silakan duduk di sini,” katanya sambil berdiri dan menjabat tangan Mely (alias Martha).
“Oke, kita makan dulu atau langsung berangkat nih?” tanya pria itu.
“Kita bisa langsung pergi setelah pembayaran dilakukan,” jawab Mely ketus.
“Wow, santai saja, Nona. Jangan takut, ini aku bayar sekarang.”
Sebuah amplop cokelat disodorkan. Mely langsung membuka dan menghitung isinya.
“Oke, Rp 1,5 juta. Kita berangkat. Omong-omong, nama Bapak siapa?” tanya Mely.
“Teman-teman panggil aku Acong. Yuk, berangkat,” jawab Acong sambil menggandeng tangan Mely mesra, kayak pasangannya sendiri.
Dengan Mercy-nya, Acong membawa Mely meninggalkan kafe. Mereka melaju dengan santai tapi pasti menuju kawasan perumahan elit di Dharmahusada. Di depan sebuah rumah mewah berpagar tinggi, Acong membunyikan klakson. Pagar besi itu otomatis terbuka, meski tidak ada orang di halaman. Begitu mobil masuk sampai teras, seorang pria berseragam batik berlari kecil mendekati mobil.
“Selamat datang, Koh Acong,” katanya sambil membuka pintu mobil.
“Yang lain udah kumpul kan Yok?” tanya Koh Acong pada pria berseragam itu.
“Sudah, Pak. Silakan, Pak,” jawab Doyok, si petugas valet service.
Mobil Acong langsung diambil alih Yoyok untuk diparkir. Acong dan Mely langsung masuk ke rumah mewah itu.
“Ini rumah Koh Acong?” tanya Mely takjub melihat ruang tamu yang besar dan penuh barang mewah.
“Oh, bukan. Ini rumah perkumpulan, semacam klub buat kami melepas penat,” jawab Koh Acong sambil membuka pintu ruang tengah. Di dalamnya, terdapat 3 pria dan 3 wanita, 5 kasur king size, 2 meja biliar, 3 set sofa mewah, dan sebuah mini bar yang tertata apik. Dari suasananya, jelas ruangan ini sering dipakai buat pesta pembohong.
“Hoi, Cong, lama banget kamu. Dapet barang baru ya?” tanya seorang pria Tionghoa berusia 56 tahun yang dipanggil Koh Ahiong.
“Ah, enggak enak ah ngomong gitu di depan orang,” elak Acong.
“Koh Acong, mending kamu kasih Mbak ini buat aku saja. Kamu pakai saja salah satu SPG yang aku bawa,” kata pria bertubuh gemuk dan berkulit sawo matang yang dipanggil Pak Andre.
Acong memerhatikan SPG-SPG yang ditawarkan padanya. Di antara ketiganya, ada satu yang paling menarik perhatiannya: Lidia, 21 tahun, berdarah Tionghoa, tinggi 168 cm, berat 48 kg, dan wajahnya mirip model. Dengan rok super mini dan kemeja ketat tipisnya, Acong enggak bisa nolak tawaran Pak Andre.
“Oke deh, Pak Andre boleh ambil Martha, saya pinjam Lidia,” sahut Acong sambil langsung menarik pinggang Lidia. Mereka berdua langsung berciuman di dalam dan panas, sampai terdengar desahan napas mereka.
Lidia yang dicium ganas membalas ciuman itu sambil membuka kancing bajunya yang seolah-olah tidak muat menampung payudaranya yang montok. Dengan rakus, Koh Acong melorotkan bra Lidia dan menghisap puting berwarna cokelat muda itu. Sambil bercumbu, tangan Koh Acong bergerak melingkari pinggang Lidia dan melepaskan kait rok mininya, lalu meloloskan rok itu. Kini, Lidia hanya mengenakan bra yang sudah melorot dan celana dalam berwarna putih berenda tipis yang seksi banget di tubuhnya yang putih bak mutiara.
Dengan sekali angkat, tubuh Lidia membawa Koh Acong ke daratan terdekat. Dia menelentangkannya, melepas celana dalam seksi itu, sehingga terlihatlah area kewanitaan Lidia yang sudah bersih tercukur. Tanpa membuang waktu, Acong langsung menjilat dan menusuk-nusukkan lidahnya ke dalam vagina Lidia, disusul dengan erangan nikmat dari Lidia.
“Ahh, aduh enak, Koh, dahsyat aargh!”
“Enak ya, Lid? Kamu udah berapa kali ngeseks selama jadi SPG?” tanya Acong sambil mengocok vagina Lidia dengan dua jari, sesekali menggosok klitoris mungil itu dengan jempolnya.
“Ini yang ketu…tujuh, aah hi hi hi aduh geli Koh!”
“Yang pertama sama siapa?” selidik Acong, mencari-cari G-spot dengan ujung jarinya.
“Yang pertamaaa, aduh yaaah yaah aauh di situ, Koh, enak! Yang pertama sama Pak Andre di WC showroom aah!”
Untuk mengakhiri pemanasan ini, Acong menempelkan lidahnya di klitoris Lidia, kemudian menggeleng-gelengkan dan memutar-mutar kepalanya dengan lidah tetap menempel. Menerima rangsangan dahsyat itu, tubuh Lidia melengkungkan bagai busur panah yang siap melesatkan anak panahnya.
“Aduh, Koh Acong, aargh! Masukin sekarang, Koh, jangan siksa aku lebih lama lagi, hmm?”
Melihat Lidia sudah terangsang berat, Koh Acong segera menghentikan permainan oralnya dan melepaskan bajunya sendiri dengan cepat. Lidia yang melihat Koh Acong melepas bajunya, terkesima melihat badan Koh Acong yang berotot, dadanya yang bidang, dan perutnya yang six-pack, sangat seksi di mata Lidia yang biasanya melayani Pak Andre yang gendut.
Semakin bernafsu untuk segera bersetubuh, Lidia membantu melepas celana Koh Acong. Betapa kagetnya Lidia ketika celana itu melorot, langsung nongol benda sepanjang 16,5 cm (wah, ternyata Koh Acong enggak pakai celana dalam, loh, tapi kata dokter, enggak pakai celana dalam juga bagus buat kesuburan pria!).
Dengan posisi kaki dibuka lebar-lebar, Lidia menanti Koh Acong sambil tangan gemetar menggosok-gosok klitorisnya sendiri. Koh Acong mengambil posisi di tengah-tengah kaki Lidia yang terbuka lebar dan mengarahkan penisnya ke “gerbang kewanitaan” Lidia.
Aku masuk ya, Lyv?”
“Sini kubantu, Koh,” Lidia memegang penis Acong dan mengarahkannya ke liang senggamanya.
“Seret banget ya, Lid, jadi susah masuk nih.”
“Koh, jangan bercanda melulu ah, kapan masuknya?”
“Iya udah, nih, rasain, Lid!”
“Aauh aah aah! Pelan dikit, Koh!”
Akhirnya, pelan tapi pasti, penis Koh Acong amblas ke dalam vagina Lidia. Permainan “kuda-kudaan” khusus dewasa pun dimulai. Koh Acong memaju-mundurkan pantatnya dengan tempo sedang sambil memegang kedua betis Lidia sebagai tumpuan tangan.
Beralih ke ibu guru kita, Mely “Martha”, yang cuma bengong melihat pemandangan liar di sekitarnya.
“Wah, suasananya panas ya?” Pak Andre menegur Mely yang bengong.
“Ah, enggak juga, Pak, kan ada AC,” jawab Mely risi.
“Enggak panas gimana, coba kamu lihat orang-orang itu pada telanjang, ngapain coba?”
“Eeee gimana ya, Pak…”
“Eng-eng-eng apa? Ayo lepas bajumu, kamu kan sudah dibayar kan?”
Mely merasa harga dirinya diinjak-injak. Dalam hati, Mely Martha berkata, “Aku adalah seorang guru yang dihormati dan disegani oleh anak didik dan rekan kerjaku. Kenapa demi dendam pada suamiku harus menjerumuskan diriku ke dalam lembah nista? Tapi sudah terlambat.” Air mata mulai menetes di pipi Mely.
“Wah, kok malah nangis ini gimana? Aduh!” Pak Andre mengelus-elus labirin yang besar karena bingung.
“Enggak, Pak, ayo kita mulai saja permainan ini,” Mely mengusap air matanya.
“Ya gitu dong, itu baru semangat profesional. Jangan nangis lagi ya!”
Mely membuka gaun malamnya dengan pedih dan rasa hampa. Demikian juga Pak Andre, dia membuka seluruh pakaiannya, menampilkan tubuhnya yang gemuk dan hitam.
“Sini, Mar, Bapak akan membuat kamu melayang-layang!” hubungi Pak Andre.
Mely yang masih malu dan canggung menutup tubuhnya yang telanjang dengan tangan sebisa mungkin sambil melangkah ke arah Pak Andre.
“Wah kok malu-malu gitu? Jangan khawatir Ros, Bapak enggak akan kasar-kasar sama kamu,” Pak Andre mengamati tubuh Mely dari atas ke bawah. Jakunnya naik turun memandang tubuh Mely yang menggiurkan, kulitnya yang kuning langsat bagai kulit putri keraton. Meskipun Lidia tidak seputih, pancaran erotis dari mata Mely bagai sinar pusaka Tanah Jawa.
Dan cara gerak Mely Martha sungguh membangkitkan gairah. Keayuan khas gadis Jawa terpancar dari setiap lekuk tubuhnya, dan terutama payudaranya yang berwarna kuning gading sungguh mengundang birahi lelaki manapun yang melihatnya.
Dengan lembut, Pak Andre meletakkan kedua telapak tangannya di atas payudara Mely dan mulai memijat dengan lembut, sambil perlahan ia menempelkan ke bibir Mely yang sensual. Bibir Mely dilumatnya, semakin lama semakin panas sampai kedua tubuh itu seolah menjadi satu. Pak Andre melingkarkan tangannya ke pinggang Mely dan menariknya sampai melekat pada tubuhnya, mencumbu Mely dengan penuh nafsu. Lidahnya dihisap dan dimasukkan ke dalam relung-relung mulut Mely, sehingga mau tak mau Mely membalas pagutan-pagutan pembohong itu.
Hasrat kewanitaan Kelly benar-benar dibangkitkan oleh Pak Andre yang berlaku seperti kuda jantan dan mendominasi setiap permainan ini. Kelly mulai merasakan hawa panas naik dari dadanya ke ubun-ubun yang membuatnya semakin tak berdaya melawan hawa maksiat yang begitu kental dalam ruangan ini, hingga akhirnya Kelly pun terlarut dalam hawa maksiat itu.
“Mar, aku minta dioral dong!” sambil menyodorkan penis hitamnya yang berdiameter 5 cm dengan panjang 14 cm.
“Enggak ah, Pak, jeleknya aku! Ih!”
“Wah, kamu harus profesional, Mar. Kalau kerja jangan setengah-setengah gitu dong. Gini aja, kamu tak oral, kalau sampai kamu orgasme berarti kamu harus ngoral aku, ya?”
Belum sempat Kelly menjawab, Pak Andre telah menyelusupkan kepala di selangkangan Kelly dan mulai melancarkan segala jurus simpanannya, mulai dari jilat, tusuk, sampai jurus “blender” yang menyapu rata seluruh dinding permukaan vagina Kelly, sehingga dalam waktu 7 menit Kelly sudah dibuat kejang-kejang.
“Oooh, Pak! Oouh oh pa…ak!” Kelly mencium ototnya sampai batas maksimal.
“Tuh, kamu udah orgasme, nggak bisa bohong. Sekarang giliranmu!” ucap Pak Andre senang.
Pak Andre menarik kepala Kelly dengan tangan kirinya, sementara tangan membayangkan memegang penisnya sendiri sambil mengocok ringan. Setelah mulut Kelly dalam jangkauan tembak, Pak Andre segera menjejalkan penisnya ke dalam mulut Kelly.
“Ayo dong, Martha!” Pak Andre menyuapkan penisnya seperti menyuapkan makanan pada anak kecil. Setelah penisnya berada di mulut Kelly, maka dengan menjambak rambut Kelly, Pak Andre memaju-mundurkan kepala Kelly.
“Ehm ehm Pak Andre… ehm ehm!” Mely berusaha berbicara tapi malah tersenggal-senggal.
“Udah, diam aja deh, Mar. Jangan banyak bicara, emut!”
Setelah lima menit berjalan, Mely akhirnya secara mandiri mengulum ujung penis Pak Andre, sementara tangannya mengocok dengan kasar pangkal penis Pak Andre.
“Iya gitu Mar! Wah, kamu lebih hebat dari istriku loh. Mau nggak kamu jadi gundikku?” Pak Andre berbicara ngawur karena keenakan dioral Mely. Merasa jenuh dengan permainan oral, akhirnya Mely meminta untuk bercinta.
“Udahan dong, Pak, kita ngesek yang bener aja ya?” tanya Mely dengan halus.
“Oke, kamu minta, loh!”
Pak Andre menarik Mely yang tadi mengoral dia dalam posisi jongkok menuju meja empedu, dan menyuruh Mely menumpukan kedua tangannya menghadap meja empedu. Sementara Pak Andre yang berada di belakang Mely mengatur posisi “sodokan” perdananya.
“Mar, nungging dikit dong, ya gitu, sip!” Pak Andre mengelus pantat Mely yang bahenol, lalu mengarahkan senjatanya ke vagina Mely.
“Aaaouh, Pak Andre, pelan Pak, sakit! Penisnya Bapak sih kegedean,” ucap Mely setengah meledek.
“Wah, kamu itu muji apa yang menghina, Ros? Mungkin vaginamu yang kekecilan, Ros!” Pak Andre membalas Mely dengan menarik pinggul Mely ke belakang secara cepat, maka amblaslah seluruh penis Pak Andre.
“Auuw gede banget, aauw aah!” Mely mulai menggoyang pinggulnya berusaha menyeimbangi goyangan Pak Andre.
Pak Andre membenamkan penisnya dalam-dalam dengan menarik pinggul Mely ke belakang. Dengan penis masih tertancap di vagina Mely, kemudian Pak Andre memutar pinggulnya membentuk lingkaran sehingga penis yang di dalam vagina Mely menggencet dan menggesek setiap saraf-saraf nikmat di dinding vagina.
“Aauh, aku keluar ahh!” Mely mengalami orgasme yang menyebabkan setiap otot di tubuh Mely mengencang sehingga tubuhnya kejang-kejang tidak terkendali.
“Loh Mar, kok udah KO? Belum 10 menit kok udah orgasme? Wah, ini kalau cowok namanya EDI, ejakulasi dini. Kalau kamu berarti menderita ODI, orgasme dini. Ayo, terusin sampai aku keluar juga!”
Pak Andre mengganti posisi bersenggama dengan mengangkat tubuh Mely dan menidurkannya di meja biliar. Kemudian kaki Mely dibentangkan oleh Pak Andre lebar-lebar, dan dengan kekuatan penuh penis besar itu menerjang mendobrak “pintu kewanitaan” Mely, sampai-sampai klitorisnya ikut tertarik masuk. Mely yang masih dalam keadaan orgasme semakin menggila menerima sodokan itu sehingga secara refleks Mely mencakar bahu Pak Andre.
“Oouchh, Mely , kamu ini apa-apaan sih, kok main cakar-cakaran semuanya?”
“Oouh aash maaf, habis Mely enggak tahan sih sama sodokannya Mas yang begitu perkasa,” bujuk Mely agar Pak Andre tidak marah.
“Jangan mencakar lagi, ya! Kalau tidak, rasain ini!” Pak Andre menggigit puting Mely dengan lembut tapi sedikit menyakitkan.
“Aauw nakal deh,” ucap Mely sambil menggoyangkan pinggulnya sendiri agar penis Pak Andre tetap menggesek dinding vaginanya.
Dalam waktu singkat, Mely yang mulanya seorang guru telah berevolusi menjadi pelacur kelas tinggi yang benar-benar profesional, baik dari segi kebinalan maupun ucapannya. Semuanya sudah berubah, Mely kini benar-benar seorang pelacur sejati.